Jumat, 26 Agustus 2011

MENEPIS DERITA DENGAN CINTA


Oleh: Abdul Hakim El Hamidy (Pengasuh Majelis Cinta Ilahi)
Kebanyakan kita memandang siksa sebagai derita. Namun, perempuan yang satu ini justru menyikapi siksa dengan penuh ketegaran dan senyuman. Siapakah dia?
Dia hanya seorang perempuan biasa, namun imannya luar biasa. Dia hanya seorang tukang sisir. Ya, hanya seorang tukang sisir seorang penguasa zalim bernama Fir’aun. Perempuan ini tidak lain adalah Masyitah.
Masyitah adalah seorang perempuan taat. Namun, tidak banyak orang tahu tentang ketaatannya beribadah kepada Allah SWT. Hanya seorang saja yang tahu, Asiyah. Ya, Asiyah, istri sang penguasa. Berbalik 180 derajat, suami seorang yang otoriter dan sombong, sedangkan Asiyah seorang yang tawadhu dan taat kepada Allah SWT. Namun, sepandai-pandai orang menyembunyikan sesuatu, suatu saat akan diketahui juga. Dan inilah yang terjadi pada Masyitah, si tukang sisir itu.
Suatu hari, seperti biasa Masyitah melakukan tugasnya menyisiri rambut putri-putri Fir’aun. Tidak seperti biasanya, hari itu, Masyitah agak sedikit gugup – seolah dia menerima firasat buruk. Tanpa sengaja, tiba-tiba sisir yang dipegang terjatuh dan meluncur dari mulutnya, “Maha Suci Allah!”
Bagai disambar petir telinga putri Fir’aun mendengar ucapan juru sisirnya yang bertentangan dengan keyakinannya.
“Apa yang kau sebut itu, Bibi? Kau berani menyebut Tuhan selain Fir’aun? Kau segera akan menemui kematianmu!” hardik putri Fir’aun itu.
Putri Fir’aun beranjak dari duduknya dan mengadukan hal itu kepada ayahnya. Masyitah terpekur memikirkan nasib yang akan menimpanya. Dan, betul saja, tiba-tiba seorang pengawal istana memerintahkannya untuk menghadap Fir’aun. Masyitah pasrah dan dikuatkan hatinya untuk menghadapi siksa yang akan ia terima dari sang penguasa.
“Apa yang kau sebut tadi, Masyitah?” Hardik Fir’aun.
Sejenak, perempuan salehah itu terbungkam. Kemudian, seorang pengawal maju dan menghempaskan pecutnya ke tubuh Masyitah.
“Jawab! Apa yang kau sebut tadi?!” Bentak Fir’aun lagi.
“Hamba menyebut Mahasuci Allah,” Jawab Masyitah yang tiba-tiba dianugerahi keberanian. Dia tidak lagi tunduk walaupun cemeti berkali-kali mendera tubuhnya.
“Berani benar kau menentangku, hah! Akulah tuhanmu. Tuhan rakyat Mesir. Akulah yang menentukan hidup dan matimu. Akulah tuhan tertinggi di seluruh jagad ini. Kau masih berani menyebut Tuhanmu itu?”
“Mahasuci Allah, tiada sesembahan lain kecuali Dia. Allah-lah yang menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Allah yang menentukan rezki bagi hamba-hamba-Nya. Tiada sesuatu yang sempurna, kecuali Allah,” kata Masyitah kemudian dengan tegas.
Berbarengan dengan ucapan itu, dua orang pengawal menyeretnya ke tempat penyiksaan. Sebuah kuali besi raksasa sedang terjerang di atas api yang menjilat-jilat. Dalam kuali itu terisi minyak yang mendidih. Algojo yang membawanya menunjuk ke arah beberapa orang yang tengah diborgol dengan belenggu besi.
“Kau kenal siapa orang-orang itu?”
Masyitah melihat dua anaknya dalam genggaman para pengawal itu. Dia hampir tak percaya bahwa kedua anak yang masih kecil-kecil itu pun akan menerima siksaan seperti dia. Algojo bertanya lagi,
“Masikah kau mengingkari tuhan Fir’aun, hai budak?!”
“Tuhanku adalah Allah yang Maha Esa, Allahu Ahad, Ahad!”
Mendengar ketegasan si tukang sisir itu algojo semakin geram. Tanpa berbasa-basi ia langsung melemparkan kedua anak Masyitah ke dalam kuali yang berisi minyak mendidih. Kedua anak itu menjerit dan menjerit sampai lenyap ditelan kobaran api.
Dinding hati Masyitah bagai digedor. Jeritan sang anak adalah jeritan hatinya. Air matanya meleleh deras bagai bajir bandang. Namun, ia tidak berlarut-larut. Ia segera hapus air matanya. Keimanannya telah membangkitkan jiwanya.
“Sebut Fir’aun adalah Tuhanmu!” Ancam algojo.
Rabbiyallah! Hanya Allah Tuhanku. Allah yang menentukan hidup matiku.”
“Masih tegakah kau melihat anak bayimu dalam panggangan api itu?”
“Api tidak mematikan, kecuali jika ajal memanggil. Allah-lah yang menghidupkan dan Allah pula yang mematikan, kemudian Allah pula yang menghidupkan kembali.”
Tiba-tiba Masyitah menyaksikan anak bayinya itu dilemparkan ke dalam kobaran api. Sejenak, dia memejamkan matanya, tapi kemudian dengan lantangnya dia berseru, “Wahai anak-anakku…, kalian adalah syuhada pengisi surga. Tunggulah ibumu. Aku akan menyusul kalian!”
Lalu, kepada algojo, Masyitah berseru, “Wahai, Budak Kekuasaan, kalian adalah setan-setan bermuka manusia. Sampaikan pesan terakhirku kepada rajamu, manusia yang kalian anggap Tuhan bahwa sudah kehendak Allah tidak lama lagi negeri ini akan musnah. Fir’aun dan pengikutnya akan ditelan Laut Merah. Camkanlah bahwa tiada kekuasaan, melainkan kekuasaan Allah. Kini, aku siap menghadapi kematian. Lemparkan diriku ke dalam belanga berapi itu!”
Dua orang algojo suruhan penguasa sombong semakin geram. Mereka mendekati Masyitah dan langsung menarik tubuhnya, kemudian melemparkannya ke dalam kobaran api pembakaran itu. Wajah Masyitah menyunggikan senyuman. Sungguh, ia telah melihat gerbang surga terbuka untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar